PROSPEK BMT DALAM KOMPETENSI LEMBAGA KEUANGAN DI
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
BMT
(Baitul Maal Wat Tamwil) adalah salah satu model lembaga keuangan syariah (LKS)
paling sederhana yang saat ini banyak muncul dan tenggelam di indonesia.
Keberadaan BMT dengan jumlah yang signifikan pada beberapa daerah di indonesia
tidak didukung oleh faktor-faktor pendukung yang memungkinkan BMT untuk terus
berkembang dan berjalan dengan baik. Fakta yang ada dilapangan menunjukkkan
banyak BMT yang tenggelam dan bubar.
Dengan
melihat fenomena di atas, perkembangan BMT dipandang belum sepenuhnya mampu
menjawab problem real ekonomi yang ada di kalangan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor lain, belum memadainya sumber daya manusia yang
terdidik dan profesional, menyangkut manajemen sumber daya manusia dan
pengembangan budaya serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) bangsa kita yang
masih lemah, permodalan (dana) yang relatif kecil dan terbatas, adanya
ambivalensi antara konsep syariah pengelolaan BMT dengan operasionalisasi di
lapangan, tingkat kepercayaan yang masih rendah dari umat Islam dan secara
akademik belum terumuskan dengan sempurna untuk mengembangkan lembaga keuangan
syariah dengan cara sistematis dan proporsional. Kompleksitas persoalan
tersebut menimbulkan dampak terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaan
BMT diantara lembaga keuangan konvensional.
Padahal
bila dilihat dari latar belakang berdirinya, BMT merupakan jawaban terhadap
tuntutan dan kebutuhan kalangan umat Muslim. Kehadiran BMT muncul di saat umat
Islam mengharapkan adanya lembaga keuangan yang berbasis syariah dan bebas dari
unsur riba yang dinyatakan haram. Jika melihat data pertumbuhan BMT di
Indonesia terus meningkat dengan pesat, menurut Suharto (CEO Permodalan BMT
Center), perkembangan BMT tahun 2010 tumbuh rata-rata dari sisi aset dalam
kisaran 35%-40%, financing to deposit ratio (dana yang disalurkan) juga masih
sekitar 100%. Indikasinya dapat dilihat dari sekitar 210 juta penduduk
Indonesia dengan 84% pemeluk Islam, terdapat sedikit saja yang mau memanfaatkan
fasilitas kredit berbunga dari bank konvensional. Sebaliknya mereka lebih suka
mencari jalan lain di luar lembaga perbankan untuk segala keperluan bisnisnya.
Hal ini membuktikan lembaga BMT dapat diterima oleh masyarakat sebagai lembaga
yang dapat memberdayakan masyarakat kecil.
Eksistensi
lembaga keuangan syariah sejenis BMT, jelas memiliki arti penting bagi
pembangunan ekonomi berwawasan syariah terutama dalam memberikan solusi bagi pemberdayaan
usaha kecil dan menengah serta menjadi inti kekuatan ekonomi yang berbasis
kerakyatan dan sekaligus menjadi penyangga utama sistem perekonomian nasional.
Hal ini menunjukkan peranan BMT sangat berarti bagi masyarakat karena BMT
merupakan suatu lembaga mikro syariah yang mampu memecahkan permasalahan
fundamental yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah khususnyadi bidang
permodalan. BMT tidak hanya berfungsi dalam penyaluran modal tetapi juga
berfungsi untuk menangani kegiatan sosial.[1]
- Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dan konsep dasar BMT ?
2.
Bagaimana
cara LKMS BMT untuk memperdayakan masyarakat miskin ?
3.
Bagaimana
BMT sebagai Rumah Sosial dan Rumah Pembiayaan ?
4.
Bagaimana
cara mengembangkan kelembagaan BMT ?
5.
Bagaimana
prospek dan tantangan LKMS BMT ?
6.
Bagaimana
Prospek Strategi dan Kendala LKMS BMT ?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian dan konsep dasar Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT) berasal dari dua kata yaitu Baitul Maal yang artinya
lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung
serta menyalurkan harta masyarakat yang berupa zakat, infaq, dan sedekah (ZIS)
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan AL-Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya. Sedangkan
Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.[2]
Berdasarkan
definisi di atas dapat ditarik kesimpulan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah
suatu lembaga keuangan mikro syariah yang menggabungkan unsur profit motive dan
unsur nirlaba (sosial) dalam kegiatan usahanya yang dijalankan sesuai dengan
ketentuan syariah serta mempunyai tujuan menampung dana umat islam yang begitu
besar dan menyalurkannya kembali kepada umat islam terutamapengusaha-pengusaha
muslim yang membutuhkan bantuan modal untuk pengembangan bisnisnya. Sehingga ia
tidak dapat dimanipulasi untuk kepentingan bisnis atau mencari laba (profit),
mandiri ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelola secara profesional.
Aspek Baitul Maal, dikembangkan untuk kesejahteraan anggota terutama dengan
penggalangan dana ZISWA (zakat, infaq, sedekah, Waqaf dll) seiring dengan
penguatan kelembagaan BMT.
Sifat
usaha BMT yang berorientasi pada bisnis dimaksudkan supaya pengelola BMT dapat
dijalankan secara proporsional, sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi.
Aspek bisnis BMT menjadi kunci sukses mengembangkan BMT. Dari sinilah BMT akan
mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada deposannya serta mampu
meningkatkan kesejahteraan para pengelolanya sejajar dengan lembaga lainnya.
Sedangkan aspek sosial BMT berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota dan masyarakat
sekitar yang menumbuhkan dengan bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada
para nasabah berdasarkan prinsip syariah, seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, qardl dll. (Ridwan, 2004:129).[3]
- LKMS dan pemberdayaan Masyarakat Miskin
Lembaga
Keuangan Mikor Syariah (LKMS) seperti BMT dengan ekonomi rakyat memiliki banyak
persamaan. Konsep ekonomi rakyat menjadi kata kunci dalam studi keuangan mikro
karena dianggap cocok untuk menangani kemiskinan di dunia tiga. LKMS memiliki
target untuk pemberdayaan masyarakat Muslim didunia ketiga. Dalam studi-studi
pembangunan, konsep keuangan mikro dianggap sesuai untuk pembangunan desa.
Layanan keuangan mikro adalah sejumlah jasa pelayanan keuangan seperti kredit,
pinjaman, dan jasa pembayaran untuk orang miskin dan kelompok keluarga
pendapatan rendah serta usaha kecil yang mereka miliki. Layanan semacam ini
dianggap sebagai usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif karena memberikan
akses kepada masyarakat miskin untuk memperoleh kredit bagi usaha kecilnya.
LKMS seperti BMT adalah salah satu LKM di Indonesia yang potensial menyediakan
layanan keuangan mikro.
Kebanyakan
BMT bersedia membiayai usaha yang baru dan sedang tumbuh di lingkungannya. Hal
semacam ini sangat jarang dilakukan oleh perbankan, baik yang konvensional
maupun syariah. Perbankan biasanya lebih berminat untuk membiayai usaha yang
sudah mapan (sustainable). Pengertian mapan disini bukan berkaitan dengan besar
atau kecilnya nominal pinjaman, namun dengan penilaian atas tahap perkembangan
usaha yang bersangkutan. Usaha yang sedang tumbuh, apalagi yang baru mulai
dijalankan, biasanya ditandai dengan belum terkonsolidasinya laporan keuangan.
BMT pada umumnya cukup berani melakukan pembiayaan terhadap usaha yang belum
mapan, dimana perhitungan ekonominya tidak hanya berdasar proyeksi dengan
data-data masa lalu. Para pengelola BMT cukup terlatih untuk melakukan
penilaian kelayakan usaha dengan metode silatuhrami. Salah satu kuncinya adalah
kedekatan mereka dengan para anggota/nasabah melalui kunjungan kekeluargaan,
sekaligus pula dengan sektor riil yang mereka geluti. Tentu saja tidak
sepenuhnya atas dasar naluri atau kedekatan personal, perhitungan rasional
tetap dilakukan. Para pengelola BMT juga secara sadar telah mempelajari dan
menerapkan teknik-teknik yang umum dikenal dalam sistem keuangan.
Atas
dasar kenyataan ini maka BMT tidak hanya bertujuan meningkatkan taraf
kesejahteraan hidup masyarakat tapi juga mengajarkan nilai-nilai moral agama,
seperti tidak malas, larangan terhadap bunga (riba), menjunjung tinggi
kejujuran dan kedermawaan dengan mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah (ZIS).
Oleh karena itu, peranan BMT tidak semata-mata melatih masyarakat kecil
bagaimana cara berusaha yang baik agar memperoleh keuntungan dalam usahanya,
tapi juga mengajarkan moralitas dan etika dalam masyarakat. Intinya, LKMS atau
BMT dan umumnya lembaga keuangan syariah mencoba menggabungkan aspek
individualitas dengan kolektivitas dalam perspektif islam. Dengan prinsip
keadilan dalam islam, dimana dalam harta terdapat hak individu, hak Allah dan
hak sesama. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas. Artinya,
islam melarang setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang
tidak layak dalam tangan segelintir orang, karena kekayaan harus tersebar ke
sesama manusia dengan baik.
Salah
satu upaya strategis untuk mengentaskan tingkat kemiskinan tersebut adalah
melalui LKM. Keberadaan LKMS seperti BMT dalam memperdayakan masyarakat miskin
dapat diandalkan jika melihat potensi BMT sebagai sumber pembiayaan bagi pelaku
usaha mikro dan kecil yang umumnya adalah kelompok miskin. Berikut adalah
daftar BMT yang tergolong berhasil:
Tabel 2. Daftar BMT
Berasset Milyaran
No
|
Nama BMT
|
Jumlah Asset
|
1.
|
BMT Dinar
di Karang Anyar
|
Rp
31 Milyar
|
2.
|
BMT Ben
Taqwa di Jawa Tengah
|
Rp
30 Milyar
|
3.
|
BMT Bina
Usaha Sejahtera (di Lasem Jawa Tengah)
|
Rp
28 Milyar
|
4.
|
BMT MMU (
di Pasuruan JATIM)
|
Rp
17 Milyar
|
5.
|
BMT
Marhamah (Wonosobo)
|
Rp
13 Milyar
|
6.
|
BMT Baitur
Rahman (di Bontang, KALTIM)
|
Rp 6 Milyar
|
7.
|
BMT Tumang
(di Boyolali)
|
Rp 4 Milyar
|
8.
|
BMT PSU
Malang
|
Rp
5,6 Milyar
|
Sumber : Pinbuk (2005)
Tabel
diatas menunjukkan beberapa BMT yang telah berkembang sangat pesat dengan
jumlah asset miliaran. Peran LKMS ini dalam menyediakan kredit pinjaman untuk usaha
mikro dan kecil (UMK) sangat potensial mengingat perbankan belum maksimal
melakukannya. Peluang UMK memperoleh kredit perbankan kecil, atau bahkan hampir
tidak ada sama sekali. Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat
proposal.[4]
- LKMS : Sebagai Rumah Sosial dan Rumah Pembiayaan
LKMS
dalam bentuk BMT misalnya, berfungsi ganda sebagai lembaga sosial dan juga
berorientasi keuntungan. Dalam sejarah islam, Baitul Maal (Rumah Sosial) sudah
dikenal di Jazirah Arab yaitu pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya (Khulafaurrasyidin) untuk membuat suatu
sistem ekonomi yang berkeadilan dan membantu kaum miskin (dhuafa).
Di
tingkat mikro, penyedia layanan keuangan dan kredit mikro bagi UMKM adalah LKMS
non formal, BMT. Dikalangan lembaga pembina, BMT distilahkan sebagai Balai
Usaha Mandiri Terpadu (BUMT). Lembaga ini dirancang sebagai lembaga yang
menjalankan dua fungsi, baitul maal (Rumah Sosial) dan baitul tamwil (Rumah
Pembiayaan). BMT merupakan lembaga keuangan mikro miliki masyarakat, didirikan
oleh masyarakat dan beroperasi di lingkungan masyarakat lokal. Menurut situs
pinbuk, BMT ialah lembaga keuangan masyarakat yang bertujuan untuk mendukung
kegiatan usaha rakyat bawah dan kecil, dan dijalankan berdasarkan syariah
islam.
Ada 2 fungsi BMT untuk
menjalankan operasionalnya yang meliputi sebagai berikut:
1.
BMT
sebagai Baitul Maal adalah lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya menerima dan
menyalurkan dana umat islam yang berasal dari zakat, infaq, dan sedekah (ZIS).
Penyalurkannya dialokasikan kepada mereka yang berhak (mustahiq), sesuai dengan
aturan agama dan sesuai dengan manajemen keuangan modern. Dalam mengelola dana
ZIS ini, BMT tidak mendapatkan keuangan finansial, karena hasil zakat misalnya
tidak boleh dibisniskan BMT. Dalam jasa keuangan BMT, dana dari ZIS, terutama
kategori infaq dan sadoqah disalurkan dalam bentuk qardhul hasan. Sementara
kategori zakat disalurkan sebagai dana sosial yang tidak boleh dikomersialkan,
tapi diperuntukkan bagi kelompok mustahiq (penerima zakat) seperti fakir
miskin, anak yatim piatu dan manula.
2.
Sedangkan
BMT sebagai Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan umat islam yang usaha
pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan
lewat pembiayaan usaha-usaha masyarakat yang produktif dan menguntungkan BMT.
Dengan demikian, selain menghimpun dana masyarakat, melalui investasi/tabungan,
kegiatan Baitul Tamwil adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi
dalam meningkatkan pendapatan usaha pengusaha. Selain unit simpan pinjam, BMT
juga bisa secara langsung bergerak di bidang usaha sektor riil, seperti toko
serba ada, peternakan, perikanan, jasa warung telekomunikasi (wartel), ekspor
impor, kontraktor dan sebagainya.
Adanya
dua fungsi BMT tersebut mengharuskan pengelola BMT untuk memiliki syarat-syarat
khusus. Dalam buku pedoman BMT yang diterbitkan Pinbuk dinyatakan bahwa
kualifikasi pengelolaan koperasi syariah BMT ialah,
1.
Memiliki
landasan iman yang kuat dan sikap keikhlasan.
2.
Amanah,
jujur dan berakhlak mulia.
3.
Mampu
bekerjasama dalam suatu pekerjaan, khususnya dalam menumbuhkan dan memajukan
BMT.
4.
Bekerja
secara profesional.
5.
Minimal
berpendidikan D3 (tapi sebaiknya S1).
6.
Berasal
dari daerah sekitar BMT dan memang tinggal di sekitar BMT itu.
Dua
syarat utama diatas ini menjadi syarat utama sebagai pengelola BMT. ”Bila iman
tipis dan sikap tidak amanah, jangan sekali-kali menjadi pengelola BMT”.
Sedangkan
peranan BMT, sebagaimana bisa dilihat pada visi dan misi Pinbuk, diharapkan
akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi kerakyatan.
1.
BMT
akan berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
pendapatan masyarakat yang ada gilirannya membantu mengatasi kesenjangan
ekonomi dan membantu pemulihan krisis ekonomi Indonesia.
2.
BMT
akan mampu menjadi landasan pembangunan koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat
yang tangguh dan mengakar dalam masyarakat. BMT diharapkan akan meningkatkan
mutu dan kemampuan pembangunan koperasi sehingga peranannya lebih nyata dalam
kehidupan ekonomi, baik di perkotaan apalagi di pedesaan.
3.
BMT
secara signifikan mendukung gerakan ekonomi kerakyatan yang dicanangkan GBHN.
BMT akan mampu berkembang menjadi usaha ekonomi rakyat melalui pengembangan
kewiraswaataan, penyediaan sarana dan latihan, bimbingan dan permodalan agar
dapat meningkatkan usahanya sesuai dengan peraturan perunddang-undangan.
4.
BMT
mendukung program pencapaian peningkatan semangat kebersamaan dan manajemen
yang lebih profesional. BMT berperan dalam menggerakkan peran aktif masyarakat
dengan menigkatkan kesadaran, kegairahan dan kemampuan berkoperasi seluruh
lapisan masyarakat.
5.
BMT
berperan dalam menumbuhkan sikap kemandirian dalam masyarakat Indonesia melalui
peningkatan peran serta rakyat, efisiensi dan produktifitas rakyat dalam rangka
peningkatan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan lahir batin.
6.
BMT
terlihat penuh dalam program nasional dalam meningkatkan kemampuan dan peran
usaha kecil, karena BMT secara signifikan memberi modal usaha kepada pengusaha
kecil disamping memberikan modal usaha kepada pengusaha kecil disamping
memberikan pembinaan manajerial.
Berangkat
dari peranannya ini, semestinya BMT juga diberikan peluang yang sama dengan LKM
lain dalam program penerusan (linkage program) pemerintah seperti untuk
menyalurkan program-program pemberdayaan masyarakat miskin seperti; Jaring
Pengaman Sosial (JPS), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Usaha Tani (KUT),
Subsisdi BBM dan seluruh penyaluran dana untuk rakyat miskin. Selain
tenaga-tenaga BMT cukup terlatih dalam manajemen dana dengan pembukuan yang standar,
BMT juga tampil sebagai lembaga alternatif karena menawarkan sistem teknologi
keuangan syariah yang sesuai dengan nilai-nilai setempat.
Kesimpulan
bab ini adalah bahwa melibatkan kembali elemen-elemen agama dalam sistem dan
praktek ekonomi akan menjadikan kegiatan-kegiatan ekonomi menjadi lebih melekat
secara sosial (socially embedded). Masyarakat beraktivitas ekonomi dalam
mencapai kepentingan-kepentingan mereka berlandaskan pada sistem kebudayaan
setempat, nilai-nilai keagamaan dan kebutuhan-kebutuhan riil mereka di tingkat
akar rumput. Prinsip-prinsip Islam (syariah) dalam ekonomi islam melalui pratek
LKMS memiliki keterkaitan dengan konsep ekonomi substansif dan ekonomi
kerakyatan yang sudah banyak didiskusikan oleh para pakar ekonomi di dunia
maupun di Indonesia. Keterkaitan atau interkoneksitas ini ada karena ekonomi
Islam mengedepankan niali-nilai agama, mengutamakan keadilan dan kesejahteraan
bersama antara pemilik modal dan peminjamnya, menjalin hubungan antara kelompok
kaya dan masyarakat miskin atas dasar nilai-nilai kebersamaan (ta’awun).
- Pengembangan Kelembagaan (Institutional Capacity Building)
Dalam
bukunya, Victor nee (1998: xv) mengatakan bahwa pendekatan institusional baru
ini melihat kembali ide tentang rasionalitas yang terikat dengan konteks
social. Nee memfokuskan pemikirannya pada persoalan keselarasan (compliance)
dan ketidakselarasan (decoupling) antara aturan informal dan formal dalam
mempengaruhi perubahan kelembagaan.
Dengan
mengacu pada konsep Nee maka pengembangan kelembagaan adalah upaya untuk
menyelaraskan antara kelembagaan-kelembagaan tradisional yang bersifat memaksa
melalui peraturan perundang-undangan dan adanya hirarki serta struktur kerja
organisasi. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan kepada LKMS dapat berbentuk
bantuan manajemen organisasi seperti penerapan SOP, bantuan pendanaan, bantuan
teknik, bantuan pendidikan dan pelatihan, serta penguatan jaringan.
Pengembangan kelembagaan terkait jugga dengan pengembangan kapasitas (capacity
building) yang mencakup:
1.
Kelembagaan
2.
Pendanaan
3.
Pelayanan
Upaya
pengembangan kelembagaan ini akan mengatasi persoalan kebanyakan LKMS yang
dimiliki yayasan atau LSM mengenai keberlanjutan kegiatan mereka.
Dari
segi kelembagaan dan pendanaan, BMT bisa melakukan Linkage Program anatara Bank
Syariah dan BPR Syariah, atau bermitra dengan lembaga donor asing dan
pemerintah. Program kerjasama ini merupakan langkah yang paling utama kondisi
UMKM (skala kecil, agunan terbatas, tidak berbadan hukum, letak jauh, dan
adminitrasi lemah) sangat sulit dijangkau oleh Bank Syariah (biaya tinggi,
risiko tinggi, persyaratan legal, sulit menjangkau, dan kesulitan menilai
usaha). Keberadaan LKMS seperti BMT sangat diperlukan sebagai mediasi antara
sektor UMKM dengan pihak Bank Syariah. Hal ini dikarenakan karakteristik BMT
sangat cocok dengan kebutuhan UMKM, yaitu:
1.
Menyediakan
layanan tabungan, pembiayaan, pembayaran, deposito.
2.
Fokus
melayani UMKM.
3.
Menggunakan
prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel.
4.
Serta
berada di tengah-tengah masyarakat kecil atau pedesanaan.
BMT
yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan Bank Syariah ( channeling agent)
dapat menyalurkan pembiayaan yang telah diamanahkan kepadanya sehingga Bank
Syariah sendiri tidak perlu takut menanggung resiko yang sangat besar.
Sebagai
akibat dari pengembangan kelembagaan, lembaga keuangan syariah seperti bank
syariah dan BMT diperkenankan untuk memilki struktur organisasi yang sama
dengan lembaga keuangan konvensional, misalnya adanya dewan komisaris dan
direksi untuk bank, dan dewan pengurus, direktur serta manajer bagi BMT. Dalam
struktur organisasi lembaga keuangan syariah harus ada Dewan Pnegawas Syariah
(DPS). Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan
Komisaris pada setiap bank.Hal ini untuk menjamin efektifitas pendapat atau
opini ynag dikemukakan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya
penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi
dari Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dari
segi pelayanan, LKMS harus mendesain layanan kredit dan keuangannya semenarik
mungkin sehingga bisa menarik masyarakat untuk menjadi nasabah. LKMS melalui
produknya harus mampu menyakinkan masyarakat bahwa produk yang ditawarkannya
lebih baik dari yang lain, misalnya; proses pemberian pinjaman tidak
berbelit-belit, persyaratan agunan tidak ketat dan lain sebagainya. Untuk
mengukur aspek ini, kita bisa melihatnya dari jumlah anggota aktif, jumlah
calon anggota, jumlah penabung, jumlah peminjam dari kelompok usaha tertentu,
berapa rata-rata pinjaman dan lain sebagainya.
Kesimpulannya,
nilai-nilai keagamaan atau kelembagaan (institusi) menjadi semacam “rules of
the game” (aturan main) bagi LKMS dalam menerapkan prinsip syariah dalam
pengembangan kelembagaannya. Dengan pelembagaan nilai-nilai keagamaan ini, maka
LKMS dibandingkan dengan LKM konvensional sangat berbeda dalam beberapa hal.
Persamaannya adalah, keduanya sama-sama berorientas keuntungan. Sehingga dari
sisi teknis sama dalam hal penerimaan uang, mekanisme tranfer, teknologi
komputer yang digunakan, syarat-syarat umum untuk memperoleh pembiayaan seperti
KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Disamping itu, antaraLKMS
dan LKM konvensional memiliki perbedaan yang sangat prinsipal, yakni menyangkut
akad-akad yang ditetapkan, aspek legalitas, struktur organisasi, bidang usaha
yang dibiayai dan lingkungan kerja. Meningkatkan capacity building LKMS terkait
dengan pemberian technical assistence berupa pendampingan manajemen,
standarisasi SOP, penggunaan sistem IT, dan pemasaran produk. Usaha peningkatan
ini dapat melibatkan departemen terkait yaitu koperasi dan UMKM, perindustrian
dan perdagangan, serta BUMN seperti PNM atau bahkan LSM yang bergerak di bidang
yang sama. Jika LKMS akan dikembangkan lebih lanjut dan untuk berfungsi lebih
optimal, maka berikut tigas prasyarat perlu diberi perhatian;
1.
Pengawasan.
Sampai saat ini, belum ada yang jelas kontrol dan pengawasan melalui mekanisme
lembaga LKMS. Pada fungsi pengawasan yang dilakukan oleh aparat di tingkat
Dinas Koperasi di tingkat kabupaten dan kecamatan serta masyarakat masih kurang
memadai. Untuk mengoptimalkan fungsi LKMS, ada kebutuhan untuk lebih
mengefektifkan mekanisme pengawasannya.
2.
Kemitraan.
Kebutuhan untuk bermitra dengan fungsionaris penting lainnya (aparat pemerintah
desa, kecamatan, kelompok masyarakat dan Koperasi Kelompok Kerja) sangat
dirasakan oleh pengurus LKMS dan masyarakat. Kemitraan ini adalah penting untuk
memenuhi fungsi pengawasan untuk peminjam LKMS dan juga sebagai sarana
pelatihan/bimbingan untuk manajer.
3.
Transparansi
pengelolaan keuangan LKMS masih minim. Manajer terkadang gagal atau tidak dapat
menunjukkan laporan keuangan tetep yang rapi yang terbit per tahun atau biasa
disebut Rapat Anggota Tahunan (RAT).[5]
- LKMS sebagai LKM Alternatif: Propek dan Tantangan
Dalam
teori pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan akumulasi modal
(capital) melalui tabungan (saving) untuk mendukung investasi. Kenyataannya,
komponen masyarakat yang mampu menabung adalah kelompok orak kaya, bukan dari
kelompok orang miskin. Sehingga pertumbuhan ekonomi hanya dapat dimotori oleh
kelompok masyarakat yang mampu melakukan pemupukan modal. Kehadiran BMT yang
berbadan hukum koperasi memungkinkan para anggota binaannya yang umumnya
masyarakat miskin untuk menabung agar supaya mengakumulasikan modal yang abnyak
di BMT sehingga tersedia modal bagi masyarakat. BMT juga memberikan bonus
kredit dengan nominal yang besar jika jumlah tabungannya juga besar. Dalam
praktek BMT akumulasi modal tetap diharapkan dari orang-orang kaya (agniya) di
sekitar BMT dan pasar baik sebagai penyandang dana pihak ketiga (DPK) maupun
sebagai pembayar ZIS, atau yang emmanfaatkan jenis tabungan yang tersedia di
BMT. Akumulasi dana ini kemudian disalurkan kepada pengusaha UMK dengan
prosedur yang mudah dan persyaratan agunan yang tidak ketat seperti perbankan.
Pada
kemnyataannya, masih banyak golongan miskin yang sulit mangakses keuangan mikro
terutama dari lembaga keuangan formal (bank) karena kebijakannya belum
mengakomodasi kebutuhan masyarakat miskin. Orang miskin umumnya mendapat
layanan dari lembaga keuangan non formal, layanan keuangan mikro dari program
pemerintah (dana bergulir), serta lembaga informal. Sedang golongan sangat
miskin hanya memperoleh layanan keuangan mikro dari program pemerintah atau
lembaga informal. Karena layanan keuangan mikro dari program pemerintah melalui
sistem perguliran antar kelompok, akibatnya sering terjadi kelangkaan modal
usaha bagi golongan miskin.
Kredit
usaha juga kurang dapat diakses petani yang mayoritas tergolong miskin, karena
skema kredit yang tersedia tidak sesuai dengan pola kegiatan usaha tani. Karena
tidak dapatmengakses pelayanan bank, golongan miskin cenderung memanfaatkan
layanan tabungan melalui lembaga informal (kelompok arisan) atau menyimpan
dalam bentuk ternak atau hasil panen. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi
tabungan di kalangan golongan miskin sebenarnya cukup besar, hanya pelayannya
yang belum menjangkau mereka.[6]
Seringkali
keterbatasan asset yang dimiliki oleh UMK dijadikan alasan oleh kalangan
perbankan untuk menolak pengajuan kredit skala mikor kecil. Padahal kredit itu
bukan untuk digunakan sebagai kredit konsumtif, tapi kredit modal kerja atau
kredit investasi. Tidak heran banyak pengusaha skala mikro kecil menengah yang
lebih mempercayai rentenir yang bisa memberikan pinjaman dana cair setiap
dibutuhkan. Karena prosesnya sangat mudah jika dibandingkan dengan pengajuan
kredit ke bank serta tidak dibutuhkan agunan. Bunga yang cukup besar, bisa
mencapai 2 persen per hari, tidak menjadi ganjalan bagi UMKM untuk mengajukan
pinjaman kepada kalangan rentenir.
Dari
sisi perbankan, ada peraturan-peraturan bank sentral yang harus dipenuhi agar
kredit yang dikucurkan tersebut tidak mengganggu kesehatan bank. Sehingga
timbul istilah 5C dalam kalangan perbankan untuk mengklasifikasikan apakah
kredit itu bisa disetujui atau tidak. 5C tersebut adalah character, capacity to
repay, condition economics, capital dan collateral. Permasalahan yang terlalu
menghadangUMKM untuk mengakses fasilitas kredit, kalau tidak mengatakan yang
utama, adalah agunan (collateral). Kebanyakan masyarakat yang sangat miskin
(extremily poor) tidak memiliki sertifikat tanah dan rumah, BPKB, kendaraan
bermotor atau hak kepemilikan lainnya untuk dijadikan agunan yang biasanya
diisyaratkan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya.
Keuangan
mikro sejatinya adalah produk kegagalan industri perbankan dalam menyalurkan
kredit ke kelompok miskin. Dalam sistem perbankan, keputusan pemberian kredit
lebih ditekankan pada kriteria creditworthiness, yaitu kemmampuan debitur
menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan perbankan
berbasis bunga memiliki kewajiban untuk pembayaran dana pihak ketiga dan
bunganya. Dalam sistem seperti ini, dimana pengembalian pokok dan bunga dijamin
tanpa terkait dengan return di sektor riil, modal finansial akan selalu bias ke
kelompok kaya, kelompok yang pasti memilki creditworthiness lebih tinggi
meskipun proyeknya tidak seproduktif proyek si miskin.
Seharusnya,
modal bergerak ke tempat yang paling produktif bukan pada kemampuan membayar
pokok dan bunga. Kenyataannya, dengan membebani bunga yang tinggi, kreditmacet
semakin berpeluang terjadi. Disinilah prospek keberadaan LKMS dimana lembaga
ini hanya akan memberikan modal ke usaha yang produktif seperti UMK dengan cara
bagi hasil sehingga penggunaan modal akan efisien dan efektif. Hal seperti ini
hanya akan terjadi dalam sistem dimana pemeberi modal finansial (LKMS) mau
berbagi risiko dengan wirausahawan atas risiko usaha di sektor UMK.[7]
- Prospek Strategi dan Kendala Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
1.
Prospek
Strategi
Koperasi
syariah atau akrab dikenal dengan sebutan Baitulmal wattamwil (BMT) mengalami
perkembangan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sebuah
lembaga inkubasi bisnis BMT mengestimasi saat ini terdapat sebanyak 3.200 BMT
dengan nilai aset mencapai Rp 3,2 triliun. Bisnis tersebut hingga akhir tahun
ini diproyeksi mencapai Rp 3,8 triliun. Meski demikian, Chief Secretary
Organization (CSO) BMT Center, Noor Azis, yakin bahwa BMT di Indonesia masih
bisa terus dikembangkan. Syaratnya, adanya dukungan dan komitmen pemerintah
dalam mendorong perkembangan bisnis lembaga keuangan non bunga tersebut. Salah
satu bentuk dukungan itu adalah melahirkan berbagai regulasi yang melindungi
binsis keuangan mikro.
Searah
dengan perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul
mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan
harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan
perekonomian masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas pada zakat, infak
dan shodaqoh, juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk harta yang diperoleh
dari peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian tidak hanya
dikerjakan oleh negara.
Selain
itu, dengan kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan
dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada
kemudahan dan bebas riba/bunga, memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat
bawah, Lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan
bebas riba/bunga,Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat,mengentaskan kemiskinan,meningkatkan
produktivitas.
Jika
kita membicarakan bagaimana kita membuat strategi untuk menumbuh kembangkan BMT
di Indonesia dengan melihat prospek BMT yang telah kita bahas pada pembahasan
diatas, ternyata ada beberapa strategi untuk meningkatkan kinerja untuk
meningkatkan prospek dari BMT tersebut antara lain:
a)
Optimalisasi
lembaga pemerintahan yang mengadakan pendanaan BMT secara melalui lembaga
swasta seperti lembaga PT. Permodalan Nasional Madani terhadap BMT, akan tetapi
itu dirasa kurang cukup kontributif untuk pengembangan BMT, karena belum ada
penanganan khusus dari lembaga pemerintahan.
b)
Optimalisasi
linkage program untuk penambahan permodalan BMT, baik itu antara BMT dan BPRS
serta Bank Syariah, sehingga kemungkinan likuidasi BMT terjadi akan semakin
mengecil.
c)
Sedangkan
proses pengembangan BMT dapat dilakukan dengan proses berikut:
1)
Mengidentifikasi
ulang kuantitas dan kualitas BMT dan UMK di Indonesia.
2)
Koordinasi
dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam pengadaan pelatihan
bagi para pengelola BMT agar manajemennya bisa berkembangan.
3)
Sosialisasi
akan eksistensi BMT kepada masyarakat melalui media massa, sehingga masyarakat
akan lebih cepat mengetahui adanya BMT dan keunggulannya.[8]
2.
Kendala-kendala
yang dihadapi BMT
Dalam
perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala. Adapun
kendala-kendala tersebut diantaranya:
a)
Akumulasi
kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi BMT.
b)
Adanya
rentenir yang memberikan dana yang memadai dan pelayanan yang baik dibanding
BMT.
c)
Nasabah
bermasalah.
d)
Persaingan
tidak Islami antar BMT.
e)
pengarahan
pengelola pada orientasi bisnis terlalu dominant sehingga mengikis sedikit rasa
idealis.
f)
Ketimpangan
fungsi utama BMT, antara baitul mal dengan baitutamwil.
g)
SDM
kurang.
h)
Evaluasi
Bersama BMT.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul dalam pengembangan BMT di
Indonesia terdiri dari 4 aspek penting yaitu: SDM, teknikal, aspek
legal/sstruktural, dan aspek pasar/komunal. Penguraian aspek masalah secara
keseluruhan menghasilkan urutan
prioritas: 1) kurangnya dukungan hukum; 2) pemngawasan dan pembinaan yang
lemah; 3) tidak adanya lembaga ppenjamin simpanan (LPS); 4) lemahnya pemahaman
SDM dan 5) persaingan.
Sedangkan
prioritas solusi yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan terdiri dari:
1) pembentukan UU tentang BMT; 2) revisi regulasi; 3) pembentukan LPS BMT; dan
4) pendampingan. Sementara itu strategis linkage program BMT-BPRS-Bank Umum
Syariah serta optimalisasi peran pemerintah lebih prioritas dibanding dengan
strategi lain.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlah
makalah yang saya buat ini, saya menyadari masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun senantiasa saya tunggu guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua, amin ya rabbal’alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
v Nursali, dkk. 2004.
Strategi Pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)dalam Memberdayakan Potensi
Usaha Kecil dan Menengah sebagaiLembaga Keuangan Mikro Syariah. Universitas
Brawijaya: Unpublished.
v Wijono, Wiloejo W. 2005,
“Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro SebagaiSalah Satu Pilar Sistem Keuangan
Nasional: Upaya Konkrit MemutusMata Rantai Kemiskinan.” Kajian Ekonomi dan
Keuangan, Edisi Khusus,November (2005).
v Siswanto. 2009, “Strategi
Pengembangan Baitull Maal Wattamwil (BMT) DalamMemberdayakan Usaha Kecil dan
Menengah”. Tesis pada ProgramPascasarjana Universitas Diponegoro.
v Muhar, 2009. “Kebijakan
dan Strategi Pengembangan Lembaga KeuanganMikro”. Jurnal Inovasi Vol. 6 No. 4
Desember 2009.
v Ilmi, Makhalul SM. 2002.
Teori dan Praktik Lembaga Keuangan Mikro Syariah.Yogyakarta: UII press.
v Ascarya, 2005,“Analytic
Network Process (ANP) Pendekatan Baru StudiKualitatif”. Makalah disampaikan
pada Seminar Intern Program MagisterAkuntansi Fakultas Ekonomi di Universitas
Trisakti, Jakarta
[1]Ascarya.”Analytic Network pRocess
(ANP) Pendekatan Baru Studi Kualifitatif”. Makalah disampaikan pada seminar
Intern Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi di Universitas Trisakti.
Jakarta.2005.
[2]http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0CEIQFjAE&url=http%3A%2F%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F130315-D%252000622-Institusionalisasi%2520Syariah-Literatur.pdf&ei=HgmQVL-CAdOgugT6j4GACQ&usg=AFQjCNGhaYp92bZUjR6pVzSKNeQBFSgsQg&bvm=bv.81828268,d.c2E
[3]Makhalul Ilmi SM.”Teori &
Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah”. Yogyakarta: UII Press. 2002. Hal
66-67
[4]W.Wiloejo wijono.”Pemberdayaan
Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Pilar Sistem Keuangan Naisonal: Upaya
Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan”.Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi
Khusus. November.2005.
[5]Siswanto.”Strategi Pengembangan
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Memeberdayakan Usaha Kecil dan Menengah”.Tesis
pada Program Pacasarjana Universitas Diponegoro.2009.
[6]https://www.academia.edu/5769858/APLIKASI_METODE_ANALYTIC_NETWORK_PROCESS_ANP_UNTUK_MENGURAI_PROBLEM_PENGEMBANGAN_BAITUL_MAAL_WAT-TAMWIIL_BMT_DI_INDONESIA
[7]Muhar.”kebijakan dan strategi
pengembangan Lembaga Keuangan Mikro”. Jurnal Inovasi Vol.6 NO.4.Desember.2009.
[8]Nursali, dkk.Strategi
pengembangan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Memperdayakan Potensi Usaha
Kecil dan Menengah sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Universitas
Brawijaya: Unpublished.
[9]http://stiebanten.blogspot.com/2011/05/pengaruh-prospek-dan-kendala-bmt-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar